Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari bin Jamal hafizhahullah
Taqiyah adalah sikap kehati-hatian dengan tidak menampakkan keyakinan yang terdapat di dalam hati di hadapan orang lain. (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 12/314)
Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata :
“Taqiyahdengan
lisan, sedangkan hati tetap tenang dengan keimanannya.” Ini pula yang
dikuatkan oleh Abu Aliyah, Abu Sya’tsa’, adh-Dhahhak, Rabi’ bin Anas,
dan yang lainnya. (Fathul Bari, 12/314, Tafsir Ibnu Katsir, 1/358)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
مَن
كَفَرَ بِاللَّهِ مِن بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ
مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا
فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barang siapa kafir kepada Allah sesudah
dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa
kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa),
akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka
kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (an-Nahl: 106)
لَّا
يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِن دُونِ
الْمُؤْمِنِينَ ۖ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ
إِلَّا أَن تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً ۗ وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ
نَفْسَهُ ۗ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil
orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan
Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti
dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Ali‘Imran: 28)
Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata menjelaskan ayat ini, “Taqiyah yang disebut oleh Allah ‘azza wa jalla dalam ayat ini adalah taqiyah terhadap orang-orang kafir, bukan kepada selain mereka.” (Tafsir at-Thabari, 6/316, Ushul Madzhab asy-Syiah, hlm. 806)
Ibnul Mundzir rahimahullah berkata,
“Para ulama sepakat bahwa siapa yang dipaksa melakukan kekafiran dan
takut dirinya akan dibunuh (jika tidak melakukannya), sementara hatinya
tetap tenang dengan keimanan, ia tidak dihukumi kafir.” Namun, jika ia
memilih dibunuh dan bersabar di atas siksaan tanpa melakukan taqiyah, hal tersebut lebih utama. Ibnu Baththal rahimahullah
berkata, “Para ulama sepakat bahwa siapa yang dipaksa melakukan
kekafiran dan lebih memilih dibunuh, ia mendapatkan pahala yang lebih
besar di sisi Allah Subhanahu wata’ala.” (Fathul Bari, 12/314)
Adapun versi agama Syiah, Syaikh Mufid menyebutkan definisi taqiyah adalah
‘menyembunyikan kebenaran dan menutupi keyakinan, serta
menyembunyikannya di hadapan orang-orang yang menyelisihinya dan tidak
menampakkan sesuatu di hadapan mereka yang dapat menyebabkan bahaya bagi
agama atau dunianya.’ (Syarah Aqa’idis Shaduq, al-Mufid, hlm. 261)
Sebagian lagi mengatakan bahwa taqiyah adalah
seseorang mengatakan atau mengucapkan selain apa yang diyakini agar
diri dan hartanya tidak ditimpa kemudaratan, atau agar kehormatannya
tetap terjaga. (Muhammad Jawad, asy- Syiah fil Mizan, hlm. 48. Lihat pula Mas’alatut Taqrib, hlm. 330)
Menurut agama Syiah, melakukan taqiyah adalah salah satu rukun agama yang harus diamalkan. Ibnu Babawaih berkata, “Keyakinan kami tentang taqiyah, ia adalah kewajiban. Siapa yang meninggalkannya, kedudukannya seperti orang yang meninggalkan shalat.” (al-I’tiqadat, 114) Ash-Shadiq berkata, “Seandainya aku katakan bahwa meninggalkan taqiyah seperti meninggalkan shalat, aku benar.”
(as-Sarair, Ibnu Idris, 479; Man La Yahdhuruhul Faqih, Ibnu Babawaih, 2/80; Ushul Madzhabis Syiah, hlm. 807) (al-Kafi, 2/219)
Bahkan, mereka menganggap orang yang tidak melakukan taqiyah
adalah orang yang tidak beragama. Al-Kulaini meriwayatkan bahwa Ja’far
bin Muhammad berkata, “Sesungguhnya sembilan persepuluh agama ini dalam taqiyah. Tidak ada agama bagi yang tidak melakukan taqiyah.” (Ushul al-Kafi, 2/217)
Al-Kulaini juga meriwayatkan dari Abu Ja’far bahwa ia berkata, “Taqiyyah itu termasuk agamaku dan agama nenek moyangku. Tidak ada keimanan bagi orang yang tidak bertaqiyyah.” Ibnu Babawaih juga mengatakan, “Taqiyyah itu wajib dan tidak boleh dihapus (hukumnya) sampai al-Qaim (Imam Mahdi, -pen.) keluar. Barang siapa meninggalkannya sebelum keluarnya al- Qaim, sungguh ia telah keluar dari agama Allah Subhanahu wata’ala dan agama Imamiyah (Syiah Rafidhah, -pen.). Dan ia menyelisihi Allah Subhanahu wata’ala, Rasul-Nya, dan para imam.” (al-I’tiqadat, hlm. 114—115)
Mereka juga meriwayatkan dari Ali bin Musa ar-Ridha bahwa ia berkata, “Tidak ada iman bagi yang tidak melakukan taqiyah. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling banyak melakukan taqiyah.”
Ada yang bertanya kepadanya, “Wahai anak Rasulullah, sampai kapan?” Ia
menjawab, “Sampai waktu yang telah ditentukan, yaitu keluarnya al- Qaim.
Barang siapa meninggalkan taqiyah sebelum keluarnya al-Qaim, dia bukan dari kami.” (Ikmalu ad-Din, Ibnu Babawaih, hlm. 355; A’lam al-Wara, ath-Thabarsi, hlm. 408; Kifayatul Atsar, Abul Qasim ar-Razi, hlm. 323. Lihat Ushul Madzhab asy-Syiah, hlm. 808)
Jadi, wajar jika mayoritas kaum Syiah
Rafidhah adalah para pendusta yang sangat mudah bersaksi palsu, berdusta
atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, lebih-lebih lagi atas nama selain beliau. Benar apa yang dikatakan oleh al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah,
لَمْ أَرَ أَحَدًا أَشْهَدَ بِالزُّورِ مِنَ الرَّافِضَةِ
“Aku tidak melihat seseorang yang lebih berani bersaksi palsu daripada kaum Syiah Rafidhah.”(Diriwayatkan al-Baihaqi dalam al-Kubra, 10/208; Hilyatul Auliya’, Abu Nu’aim, 9/114; al-Kifayah, al-Khatib al-Baghdadi, hlm. 126)
UCAPAN ULAMA TENTANG KEDUSTAAN SYIAH RAFIDHAH
Diriwayatkan dari Yunus bin Abdil A’la bahwa al-Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Aku membolehkan seluruh persaksian ahli bid’ah, kecuali kaum Rafidhah.” (al- Kubra, al-Baihaqi, 10/208)
Al-Imam Malik rahimahullah ditanya
tentang kaum Rafidhah. Beliau menjawab, “Jangan engkau berbicara dengan
mereka dan jangan meriwayatkan dari mereka, karena sesungguhnya mereka
suka berdusta.”
Yazid bin Harun rahimahullah juga berkata,
“Hadits setiap pelaku bid’ah (bisa) dicatat selama ia tidak mengajak
kepada bid’ahnya, kecuali Rafidhah, karena mereka suka berdusta.”
Diriwayatkan dari Muhammad bin Sa’id al-Asbahani bahwa Syarik berkata,
“Aku mengambil ilmu (hadits, -pen.) dari setiap yang aku temui kecuali
Rafidhah, karena mereka memalsukan hadits dan menjadikan perbuatan itu
sebagai bagian dari agama.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Ulama riwayat dan pembawa sanad telah bersepakat bahwa kaum
Rafidhah adalah kelompok yang paling pendusta. Dusta pada mereka adalah
hal yang klasik. Oleh karena itu, para imam Islam mengetahui ciri khas
kelompok ini adalah banyak berdusta.” (Minhajus Sunnah, Ibnu Taimiyah, 1/60—61)
Jelaslah bagi kita, bahwa ajaran taqiyah (baca:
dusta) kaum Syiah Rafidhah adalah ajaran yang turun-temurun, diwariskan
oleh para pendusta mereka melalui kitab-kitab hadits karya tokoh
Rafidhah.
Sumber :